Saturday, February 28, 2015

Sambutan yang Tidak Antusias

Stasiun Tanggung

Untuk menyambut peristiwa yang sangat penting itu seluruh kantor-kantor Belanda di Kota Semarang, pada waktu itu telah meliburkan para pegawainya. Namun ternyata perhatian masyarakat Belanda terhadap peristiwa yang sangat penting itu adem-adem saja. Upacara pembukaan trayek kereta api Semarang - Tanggung itu tidak mendapatkan cukup banyak tanggapan. Pembesar tertinggi di Semarang yang menghadiri upacara itu hanyalah seorang Asisten Residen.
Orang-orang yang naik dalam kereta api yang benar-benar masih “ting-ting” itupun juga tidak banyak, kecuali mereka yang mempunyai hubungan langsung dengan  kereta api tersebut. Jumlah para penumpang pada waktu itu hanya tercatat sebanyak 20 orang saja.
 
Apa sebabnya masyarakat Belanda pada waktu itu tidak banyak memberikan perhatian pada peristiwa yang sangat bersejarah itu, tidak diketahui dengan pasti. Mungkin karena harinya bertepatan dengan hari keberangkatan kapal ke Eropah yang betapapun merupakan suatu peristiwa yang penting artinya bagi masyarakat Belanda di Semarang. Tetapi kemungkinan besar sekali karena adanya alasan lain. Apalagi jika diingat bahwa untuk menyambut peristiwa yang sangat bersejarah itu, kantor-kantor Belanda justru telah memberikan liburan bagi para pegawai nya.

Harian De Locomotief yang pada waktu itu terbit di Semarang, dalam penerbitannya tangal. 14 Agustus 1867 telah memuat sebuah tulisan khusus mengenai pembukaan trayek kereta api Semarang - Tanggung itu dengan judul "Het einde van een begin": Akhir dari suatu permulaan, di mana penulis nya telah menyesalkan minimnya perhatian dari masyarakat Belanda di kota Semarang terhadap peristiwa yang besar-benar sangat bersejarah itu.

"Andaikata pentingnya suatu peristiwa hanya dapat diukur dan banyak nya dan sifat perhatian yang dicurahkan oleh khalayak ramai kepadanya, orang dapat mengatakan bahwa pembukaan jalan kereta api Semarang - Tanggung adalah suatu peristiwa yang tidak berarti". Selanjutnya dengan penuh kesal penulis artikel itu menyatakan bahwa hari yang bersejarah tanggal 10 Agustus 1867 itu "telah lewat dengan kesepian, tidak ubahnya dengan hari-hari yg lain dalam setahun".

Pada waktu itu di kalangan masyarakat Belanda di kota Semarang bahkan telah tersiar desas desus mengenai betapa bahayanya jika naik kereta api itu, diantara nya bahaya karena banjir atau bahaya karena kereta api itu bisa keluar dari ril.

Pada tahun 1869 ternyata telah timbul kesulitan keuangan untuk meneruskan rencana yang telah digariskan. Akibatnya Pemerintah Belanda terpaksa turun tangan dengan jalan memberikan tambahan pinjaman hingga seluruhnya berjumlah 17 juta gulden.
 
Karena injeksi financial pada tgl 10 Februari 1870 rel ke Solo telah dapat diselesaikan sedangkan pada tgl 10 Juni 1872 rel itu telah dapat diteruskan sampai ke Yogya.
 
Kurang dari setahun kemudian juga telah dapat diselesaikan rel Kedung Jati Ambarawa, sementara pada tahun itu pula rel Batavia Bogor telah pula dapat dibuka.

Pembangunan Rel Kereta Api Dimulai

Stasiun Brumbung

Sebagai tindak lanjut dari peristiwa itu, pada akhir tahun 1862 Pemerintah Belanda telah menerbitkan suatu konsesi untuk pembuatan jalan kereta api dari Semarang ke daerah-daerah kerajaan tersebut, yakni ke daerah-daerah Solo dan Yogya dengan sebuah cabang dari Tempuran melalui Tuntang menuju ke Ambarawa, yang pada masa itu menjadi pusat kekuatan militer Belanda di Jawa Tengah.
 
Setahun berikutnya, konsesi itu telah diberikan pada Nederlandch Indische Spoorweg Matsschapij alias NIS yang setahun kemudian juga telah diberi konsesi untuk membuat jalan kereta api dari Batavia sampai ke Bogor.

Berbeda dengan pembuatan jalan kereta api dari Batavia ke Bogor yang tidak mendapatkan bantuan satu senpun dari pihak pemerintah, pembuatan jalan kereta api dari Semarang ke daerah Solo dan Yogya sudah terang akan mustahil jika tidak mendapatkan bantuan dari Pemerintah Belanda. Berhubung dengan itu, dalam konsesi yang diberikan disebutkan bahwa pemerintah akan memberikan modal, maksimum hingga 14 juta gulden dgn bunga 4,5 persen setahun.
 
Untuk kepentingan pembuatan jalan kereta api ke daerah "Vorstenlanden" itu, pada pertengahan bulan Juni tahun 1864 Gubernur Jendral Ludolf A.J.W. Baron Sloet van den Beele telah memerlukan datang ke Semarang untuk melaku kan pencangkulan pertama dalam suatu upacara yang dengan, sengaja telah diadakan untuk kepentingan itu.

Belum lagi sampai pada pertengahan bulan Agustus tahun 1867, bagian pertama dari jalan kereta api tersebut telah selesai. merentang panjang dari Semarang sampai ke Tanggung, melalui halte Alastuwo dan Brumbung. Panjangnya seluruhnya hanya 25 km.
 
Kereta api yang pertama meluncur tepat dari setasiun Tambaksari Semarang pada tanggal 10 Agustus 1867, dan untuk menempuh jarak Semarang - Tanggung yang panjangnya hanya 25 km itu ternyata kereta api yang masih "gres" itu memerlukan waktu, tidak kurang dari satu jam. Dengan demikian dalam sejarah perkereta-apian di Indonesia, kereta api Semarang - Tanggung itu benar-benar merupakan kereta api yang sangat bersejarah. karena merupakan kereta api yang pertama di seluruh Indonesia.

Awal Mula

Stasiun Alastuwo

Sebelum tahun 1867, pengangkutan barang-barang di pulau Jawa hanya dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia, dengan menggunakan kuda dan kereta-kereta beroda empat yang ditarik oleh lembu. Ongkos pengangkutannya kadang-kadang sangat mahal. Akibatnya, banyak barang-barang tidak dapat diangkut, karena tidak dapat menyangga tingginya ongkos pengangkutan itu. Akibatnya lagi, bukan suatu peristiwa yang luar biasa jika pada waktu itu di pulau Jawa ada suatu daerah yang di landa kelaparan, sementara di daerah yang lain beras justru sangat melimpah ruah dan  tidak dapat dijual (Marie, van. Th. M.B. De Ontwikkeling van de Spoor-en' Tranwegen in Nederlandsch-Indie. 1916).

Antara tahun 1830 sampai tahun 1840, perkebunan yang terletak di daerah pedalaman telah berkembang dengan pesat. Karena terbatasnya hewan-hewan pengangkut, perkembangan itu tidak mungkin dapat diimbangi dengan meluasnya pengangkutan untuk mengangkut hasil-hasilnya.

Berhubung dengan itu ongkos pengangkutan telah melonjak dengan cepatnya. Sebagai suatu contoh saja, ongkos pengangkutan kopi dari Kedu ke Semarang yang pada tahun 1835 kira-kira hanya f.1,50 per pikul, pada tahun 1840 telah melonjak hingga lebih dari dua kali lipat mendjadi f.3,30 per pikul.

Di samping itu masih timbul kesulitan lain: Karena tidak cukupnya alat-alat pengangkutan, kapal yang berlabuh di Semarang, yang datang ke kota pelabuhan itu untuk mengangkut kopi, seringkali harus bersabar sampai tiga hingga lima bulan. hanya untuk menunggu datangnya muatan dari daerah pedalaman (Marle.van. Th. M.B ibid). Untuk memecahkan kesulitan itu, pada tahun 1840 telah dicoba suatu jalan dengan mengimport unta dan keledai. Tetapi percobaan ini seluruhnya gagal dan tidak pernah diulang, Kemudian pikiran orang sampai pada pertimbangan untuk membangun jalan kereta api dan seiring dengan maksud tersebut pada tahun 1842 telah dicanangkan suatu seruan untuk memanggil mereka yang berminat untuk menanganinya.

Pada sekitar tahun 1860 suasana di daerah-daerah kerajaan di Jawa Tengah seluruhnya telah dapat dikuasai oleh Pemerintah Belanda, Di daerah-daerah itu pabrik-pabrik gula mengalami perkembangan yang benar menggembirakan. Tetapi perkembangan pabrik gula itu dan keinginan untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya dari pabrik-pabrik itu mustahil bisa dicapai dengan alat-alat transport yang terbatas. Berhubung dengan itu setelah mendapatkan beberapa tantangan pada tahun itu juga Pemerinah Belanda di Nederland memutuskan untuk mengirimkan Ir.Stieltjes untuk mengadakan suatu peninjauan mengenai perhubungan di pulau Jawa dan merencanakan perbaikannya .Untuk keperluan itu ia telah mengadakan pemeriksaan jalan yang merentang dari Semarang ke daerah-daerah kerajaan, di Solo dan Yogja, yang pada masa itu lebih dikenal dengan nama Vorstenlanden

Benteng yang Merana

Tampak Di Permukaan Tanah

Perlu dicatat hingga jaman Jepang, masyarakat Semarang sebenarnya masih bisa  menyaksikan benteng kuno yang dinamakan Benteng Pendem itu, sekalipun pada waktu itu telah merana. Banyak dari bagiannya  telah penuh dengan lumut atau tanaman liar.
 
Keadaan pada waktu itu memang benar-benar sangat menyedihkan. Tidak heran mungkin karena hal itu juga, ketika di Semarang pecah pertempuran lima hari yang terkenal itu, tempat tersebut akhirnya dipilih sebagai tempat untuk menyingkirkan mayat para serdadu Jepang telah dibunuh oleh para pemuda yang berada tidak jauh dari tempat tersebut.
 
Namun, celakanya setelah peristiwa itu ternyata banyak tersiar desas desus bahwa Benteng Pendem sangat angker. Banyak cerita-cerita seram sering dikemukakan orang mengenai hal itu, menambah jumlah khazanah cerita-cerita semacam itu yang sebenarnya telah banyak beredar pada akhir penjajahan Belanda di Indonesia, ketika Benteng Pendem itu tidak lagi digunakan , dan dibiarkan menjadi bangunan yang kosong , tiadak terawat

Di antara sekian ceritera-ceritera itu ada diantara nya yang benar-benar sangat menarik perhatian, bahwa Benteng Pendem itu katanya di tunggu oleh seekor ular naga yang mengenakan mahkota sementara yang paling masyhur menceritakan bahwa Benteng Pendem itu sebenarnya mempunyai terusan rahasia yang memanjang hingga menembus laut Jawa, tidak ubahnva dengan Taman Sari di Yogyakarta yang konon kabarnva juga mempunyai terusan rahasia semacam itu yang menembus jauh sekali hingga ke Laut Selatan.

Sekalipun cerita-cerita itu tidak lebih hanya merupakan mitos saja namun kenyatannya di kalangan masyarakat dapat dikatakan telah berhasil menerbitkan pengaruh yang tidak bisa diabaikan. Melihat Benteng Pendem yang sunyi dan lengang  dalam keadaan merana dan tidak terawat, penuh dengan lumut dan tanaman liar, alam fikiran orang awam memang mudah terbawa hanyut terseret ke alam fantasia.
 
Demikianlah, tempo doeloe sering kita dengar orang-orang tua di Semarang sering memberikan nasehat: Jangan main-main di Benteng Pendem. Bisa tersesat dan salah-salah bisa jadi korban dari yang "mbahurekso" di tempat itu.

Tetapi, betapapun seramnya. Ceritera-cerita itu tempo doeloe ternyata toh tidak kuasa untuk membendung anak-anak pada- ngeluyur ke sana. Tiap hari tidak sedikit murid-murid sekolah yang telah memerlukan datang ke tempat itu untuk bersantai. Bahkan lebih dari itu, tempat tersebut akhirnya menjadi tempat pelarian dari murid-murid yg mempunyai hobby membolos.

Sayang setelah kemerdekaan Benteng Pendem itu telah dihancurkan hingga akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi. Menurut sumber-sumber yang layak dipercaya, pada waktu itu ternyata ada sementara pejabat yang telah terlalu “over" dengan menganggap benteng kuno tersebut sebagai lambang penjajahan Belanda. Karena itu benteng kuno tersebut harus dihancurkan.
 
Demikianlah jadinya. Sekarang ini kita tidak lagi bisa menatap bagaimana kokoh dan kekar, cantik dan molek nya Benteng Pendem itu. Hanya fotonya saja yang masih bisa kita lihat dan kisah-kisahnya saja yang masih bisa kita dengar. Sedangkan. jika Benteng Pendem itu sekarang masih ada, bukan saja hal itu akan merupakan suatu atraksi pariwisata yang sangat istimewa bagi para pelancong, namun bagi para penduduk Semarang sendiripun benteng kuno itu akan merupakan suatu tempat persinggahan yg sangat mengasyikkan. Sebagai tempat rekreasi seluruh anggauta keluarga sebagai obyek studi bagi para pelajar dan mahasiswa dan siapa tahu juga akan merupakan tempat bersantai - santai sangat mengasyikkan dengan si dia, sambil merenung menatap indahnya laut Jawa yang biru dan tenang.

Sayang benteng kuno itu sekarang justru telah lenyap!

Kehidupan Di Dalam Benteng

Pintu Masuk Benteng Pendem

Bagaimana keadaan kehidupan dalam penjara militer di Benteng Pendem pada waktu itu dapat kita ketahui diantara nya dari penuturan Alexander Cohen seorang Belanda seorang Belanda yang telah melewatkan sebagian besar dari masa hidupnya sebagai seorang pemberontak.
 
Dalam buku autobiografinya yang diberinya judul In Opstand (1932) Cohen antara lain menceritakan bahwa para narapidana yang dipenjarakan dalam benteng tersebut pada masa itu ternyata pada diberi pekerjaan. Dari pekerjaan itu mereka bisa mendapatkan uang dan membeli barang-barang dan makanan yang dijual oleh seorang nyonya yang berada di tempat itu. Dari jam lima sore sampai jam lima pagi. Barang-barangnya cukup beraneka warna. Mulai dari buah-buahan, sayur-sayuran, sambal-sambalan, telur, kue-kue. Pada waktu mengaso para narapidana diberi kebebasan untuk merokok, sedangkan pada hari Minggu mereka boleh merokok sepanjang hari, tentu saja asal ada rokoknya.
 
Ada bermacam-macam pekerjaan di tempat tersebut. Dari menjahit pakaian sampai membuat sepatu. Masing-masing narapidana tidak boleh memilih sendiri pekerjaan yang disukainya. Jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan mereka telah ditentukan berdasarkan strafregister (daftar hukuman) yang ada di tempat itu.
 
Bagi mereka yang beruntung dijatuhi hukuman hanya sampai enam bulan penjara ,diberi pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya tidak tetap,misalnya memotong rumput untuk tuan Piet atau untuk memberi makan kuda tuan komandan, menyapu daun-daun yang gugur, menyiangi tempat tempat yang terletak di dalam benteng memotong kayu-kayu untuk memasak, mengambil air dan lain sebagainya.
 
Tetapi bagi mereka yang beruntung telah dijatuhi hukuman hukuman penjara yang lamanya, berada diantara enam bulan sampai dua tahun. Pada umumnya diberi pekerjaan jahit menjahit pakaian di mana mereka setelah belajar dalam waktu singkat  dipercayai untuk mengerjakan pakaian-pakaian konfeksi, yakni membuat jas-jas pendek_seragam yg terbuat dari katun biru, membuat pantalon-pantalon dan mengerjakan jas-jas yang terbuat dari kain wol, di samping mengerjakan pici-pici dinas untuk kepenting an para serdadu Belanda.
Khusus mengenai pekerjaan pcrsepatuan, hanya diperuntukkan bagi mereka yang tergolong dalam 'kategori narapidana kelas "kakap", yakni mereka yang telah dija-tuhi hukuman tiga tahun ke atas, termasuk diantaranya mereka yang telah dinyata kan terbukti bersalah karena melakukan desersi.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut semua nya dilakukan dalam tempat yang luas yang  terletak di luar bcnteng, kira-kira jauh nya ada 50 meter dengan tutup yang terbuat dari atap serta diberi pagar besi mengelilingi bangsal-bangsal yang ada di tempat itu. Gudang-gudang-nya terletak di dalam benteng, berupa kamar-kamar, bekas tempat-tempat kediaman para perwira ketika benteng itu masih digunakan sebagai tempat pertahanan. Kecuali gudang-gudang, dalam benteng itu juga dapat kita temukan bangsal-bangsal yang kecil, tempat-tempat untuk menyekap orang-orang sipil serta tempat2 hukuman yang sempit, serta kamar mandi yg kotor.
 
Menarik juga untuk dicatat bahwa menurut Alexander Cohen. dalam kehidupan masyarakat narapidana di Benteng Pendem ternyata juga dikenal adanya hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang ternyata telah terbukti bersalah melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
 

Di antara hukuman-hukuman itu, hukuman yg paling ringan ialah hukuman di mana nararapidana yang bersangkutan dika-syot (baha sa Belanda: gachot, baca: kasyot) yakni hanya diberi air dan nasi, atau dengan jalan memberatkan cara penyekapannya.

Mereka yangg karena kesalahannya harus dika-syot ditempatkan dalam sebuah sel sempit yang panjangnya kira-kira dua meter sedangkan lebarnya hanya dua meter, dilengkapi dengan sebuah tempat tidur kecil yang terbuat dari papan, sebuah tempat duduk yang kecil dan sebuah kendil berisi air.

Ketika Alexander Cohen datang mengunjungi Benteng Pendem pada tahun 1882, benteng itu masih dikelilingi oleh rawa-rawa. Jika hujan bagian dalam dari benteng tersebut kadang-kadang sampai kebanjiran. Keadaan ini barang tentu sangat menarik perha tian dan menimbulkan pertanyaan: jika demikian, mengapa penguasa Belanda justru membangun Benteng Pendem itu di tempat tersebut? Mengapa. tidak di tempat lain

Di kalangan warga masyarakat dunia, orang Belanda terkenal sebagai orang yang teliti. Ketelitian mereka seringkali menakjubkan. Karena itu kalau mereka sampai membangun Benteng Pendem itu di Poncol, sudah terang hal itu tentunva tidak bisa dilepaskan dari sekian banyak pertimbangan yang sebelumnya telah disorot dengan teliti sekali dari berbagai segi. Apalagi yang dibangun itu justru sebuah benteng.
 
Pertama-tama lihat sajalah mengenai letaknya yang berada tidak jauh baik dari tempat pemukiman orang-orang Belanda yang terletak di sebelah timur dari jembatan Mberok maupun dari tempat kedudukan resmi Residen Semarang yg terletak di akhir jalan. Bojong. Selanjutnya. bahwa dari atap benteng itu para pirsawan akan dapat melihat dengan jelas sekali laut Jawa, hingga sewaktu waktu ada musuh yang da tang, dengan sendirinya dapat segera diadakan persiapan.
 
Bukankah dari kedua hal ini saja biar jelas bahwa tempat di mana Benteng Pendem itu dibangun merupakan suatu tempat yang sangat strategis? Hingga pilihan penguasa Belanda dapat dikatakan benar-benar merupakan suatu pilihan yang tepat di kawasan yang tepat pula?

Benteng Pendem

Letak Benteng Pendem

Jika kita menilik kota Semarang dari lembaran peta kuno, tentu wajah kota ini sangat berbeda sekali. Diwaktu itu kotanya demikian teratur dengan deretan rumah dan kantor. Di tepi Jalan Utama juga terdapat rel tram sebagai angkutan kota. Salah satu artefak yang sangat menarik adalah Benteng Pendem atau benteng dalam tanah dimana hanya sedikit dari bagian benteng ini yang terlihat dari permukaan tanah.

Setelah Perarg Diponegoro berakhir (1830), penguasa Belanda telah membangun beberapa buah benteng baru. Salah sebuah diantaranya terletak di daerah Poncol Semarang, terletak di sebelah barat laut dari stasiun kereta api.
Benteng yang dibangun antara tahun 1835 sampai tahun 1840 itu resminya bernama Fort Prins van Oranje artinya Benteng Pangeran Oranye. Persis seperti nama benteng kuno Belanda di Surabaya, di mana Kanjeng KyaiTerboyo pernah disekap sebelum dibuang ke Ambon bersama puteranya Radan Saleh alias Notodiningrat.
 
Tetapi, oleh masyarakat Semarang tempo doeloe benteng itu lebih terkenal dengan nama Benteng Pendem, karena sebagian dari benteng itu letaknya memang "terpendam" berada di bawah perrmukaan tanah.
 
Menurut Th. van Swieten dalam tulisannya "Wandeling door Semarang" yang pernah dimuat dalam majalah Berichten St. Claverbond pada tahwn 1901, Penguasa Belanda pada waktu itu mendirikan benteng tersebut dengan tujuan sebagai pangkalan dan tempat pertahanan untuk menghadapi bila tiba-tiba timbul pemberontakan di kalangan rakyat..
 
Sayang setelah empat tahun usai dibangun, benteng itu ternyata telah mengalami malapetaka dengan terjadinya ledakan hebat yang berasal dari ruangan tempat pembuatan mesiu.
 
Tiga tahun berikutnya, benteng itu untuk kedua kalinya telah diserang bencana. Bahkan kali ini lebih lebih hebat. Pada waktu itu, bangsal besar yang terletak di tempat tersebut., dimana mesiu disimpan, tiba-tiba telah. disambar petir. Akibatnya 31-52 pon mesiu telah meledak sedangkan dua  dari empat orang penjaga yang sedang berdinas di tempat tersebut telah. tewas, sementara dua orang lainnya telah mendapatkan Iuka-luka  (Kalff, S. Samarangsche  Notities. Termuat dalam Indische Verlofganger 1929-1930).
 
Pada kira-kira sekitar tahun 1850 sampai 1860-an Benteng Pendem mulai berubah fung sinya digunakan sebagai tempat penjara militer. Apa yang menjadi alasannya hingga sekarang masih belum diketahui dengan pasti.

Tentang Kami

Kelenteng Tay Kak Sie Gang Lombok

Kami adalah kelompok diskusi kota lama Semarang yang sangat prihatin dengan perkembangan kota lama Semarang saat ini. Selama ini kelompok diskusi kami hanya terbatas dan berada didalam ruang tanpa diketahui publikasi. Karena itu kami mencoba melahirkan website ini agar sejarah dan perencanaan kota Semarang dapat mengalami dinamikanya sendiri.
Menurut kami, keindahan kota lama Semarang harus dapat dikembalikan seperti dulu.  Tetapi mengembalikan Semarang tempo dulu memerlukan pertisipasi masyarakat.
 
Untuk menimbulkan partisi ini, kami merasa bahwa bahwa internet adalah media yang paling tepat untuk menjangkau semua orang. Dengan klik semarang kami ingin berpartisipasi bagi pembangunan kota lama. 

Konsep Kami

Interior Kelenteng Khay Tjiang Sing Ong

Kota bagaikan manusia yang berkembang sangat cepat, baik bertambah besar ataupun justru mengecil mendekati keadaan sekarat. Perkembangan seperti ini dapat terjadi diseluruh wilayah kota atau bagian wilayah kota. Kota tidak akan berhenti berkembang sebab kedinamisan manusia yang hidup didalamnya. Bahkan kota mati sekalipun, yang tidak dihuni, adalah obyek riset akheologi untuk mengetahui bagaimana cara orang jaman dulu berhuni. Dalam kota yang baik orang mengorientasikan aktifitasnya ke titik tertentu, mengarah pada hidup yang dinamis. Dalam kota yang kehilangan orientasinya orang akan hiduo tidak nyaman. Akan banyak stress, bunuh diri dan penyakit sosial yang lain.

Kota-kota dari berbagai negara memiliki tipologi yang berbeda. Itu dibuktikan dengan sosial ekonomi yang bermuara bentuk kota yang berbeda. Walaupun kota-kota tadi berada pada benua yang sama, masing-masing memiliki perilaku terhadap pusat kota lama yang berbeda. Dalam sejarahnya, mereka memiliki cara penglolaan kota yang berbeda. Makanya memiliki dampak aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan lingkungan yang berbeda.

Sebenarnya orientasi ideal sebuah kota adalah mengarah pada kota lama. Itu adalah orientasi aktifitas kota. Kota lama adalah pusat aktifitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Mungkin saja ada pusat kota yang baru, tapi pusat yang lama masih merupkan bagian terpenting dari sebuah kota. Bagaimanapun kota lama atau kota tua adalah pusat memori dan nostalgia.Kota lama tidak dapat dihapus dari lingkungan kota atau diganti dengan bangunan baru seperti Le Corbusier ingin menghapus pusat kota paris dan menggantikannya dengan yang baru dan perumahan yang modern sebagai pusat bisnis anyar, dikenal dengan Plan Voisin proposal for Paris in 1925 (Kenneth Frampton, Modern Architecture a Critical History 1994: 155). Pusat kota lama akan tetap memiliki nialai lebih dari pada pusat kota baru yang tidak memiliki memori dan sejarah tentang manusia. Orientasi ke kota lama membuat kota menjadi teratur. Kalau orientasi ini hilang akan terjadi chaos dan penggunaan ruang yang tidak terencana, yang bermuara pada banyak masalah sosial.

Ada dua pilihan, pusat kota lama kalau bukan sumber masalah sosial, bagian kota yang sekarat, atau bagian kota yang nyaman dihuni, untuk bersantai dan pusat aktifitas urban. Tiap negara memiliki rencana yang berbeda bagi pusat kotanya berdasarkan kondisi yang ada dan masalah-masalah yang terkait. Dalam banyak hal topik yang rumit ini sangat memerlukan perhatian.

Banyak kota, khususnya di Eropa sukses dalam mengelola kota tuanya. Mereka efektif dalam menghidupkan kota tuanya dan mempertahankannya dari kerusakan akibat dari perang dunia ke dua. Sekarang pusat kota tua ini menjadi nukleus aktifitas kota dan bahkan pusat pariwisata. Kota-kota tua di Eropa selalu memiliki pusat kota yang mana gereja tua berada. Dia adalah pusat komunikasi, kehidupan sosial dan budaya diantara penghuni kota.

Apakah semua itu dapat terwujud di kota tua Semarang?