Monday, March 2, 2015

Selamat Datang

Kantor Residen

Selamat datang di Semarang Kota Kenangan, sebuah situs yang merupakan kumpulan-kumpulan cerita tentang kota Semarang yang sudah menjadi kenangan. Cerita-cerita tentang Semarang diharapkan mengingatkan kembali akan kota lama yang demikian penting di Pulau Jawa ini.
 

Di awal abad ke 20 kota semarang di juluki “Parijs van Java” karena merupakan kota yang indah di Jawa dan keindahannya menyamai kota paris. Tetapi sekarang kota ini sudah kehilangan keindahannya. Bagian kota Semarang yang indah adalah kota lamanya tetapi sekarang mengalami banyak kerusakan lingkungan dan mati.
 

Berbagai cara telah dilakukan pemeritah kota dan beberapa Lembaga Swadaya masyarakat tetapi tetap saja Kota lama Semarang terus menerus sekarat. Kami berpendapat bahwa untuk mengembalikan keindahan kota Semarang membutuhkan usaha dari semua pihak, kesadaran akan pentingnya kota lama bagi kehidupan sekarang.
 

Untuk itulah kami menerbitkan Semarang Kota Kenangan, mengkampanyekan sejarah kota Semarang kepada siapa saja yang mencintai Semarang. Tentunya kami sangat senang jika anda berpartisipasi dalam website ini. Menulis komentar pada artikel di situs Semarang Kota Kenangan adalah kehormatan kami. Bahkan hanya membaca artikel saja anda sudah berpartisipasi dalam menghidupkan kembali kota Semarang.
 

Selamat mengikuti.


Matahari di Atas Batavia



Klik Batavia adalah website yang komplit tentang Batavia. Maka dari itu kurang lengkap kalau tidak ada novel yang bercerita tentang kota tua ini, menjadikannya panggung yang menegangkan dan sekaligus romantis.

Novel ini diangkat dari kehidupan nyata di Batavia, penelitian sejarah kota ini pada tahun 1737-1740 dimana mayoritas penduduk kota adalah orang Tionghoa dan yang memerintah adalah orang Belanda. Kehidupan Batavia pada saat itu sangat religius dengan dominasi kehidupan gereja protestan Kalvinis. Sebaliknya kehidupan dipecinan yang berada diluar tembok kota adalah agama kelenteng.

Novel ini mengangkat kisah seorang sinshe yang bertugas di rumah sakit Tionghoa, sayang rumah sakit itu sudah diruntuhkan tanpa bekas dan sudah dilupakan orang. Diceritakan percintaan antara seorang sinshe dengan gadis berdarah campuran Belanda - Tionghoa. Latar belakang percintaan mereka adalah peristiwa 1740 yang mana Batavia di serang orang Tionghoa dibawah pimpinan Khe Panjang dan peristiwa pembantaian orang Tionghoa. 

Ditulis oleh seorang sejarahwan dan penulis yang lagi naik daun Chen Ming Sien, akan bertutur dalam cerita bersambung. Novel ini sebuah gebrakan dari bentuk novel tradisional yang satu arah. Sebaliknya novel ini dua arah dimana pembaca dapat memberi komentar dan saling berkomentar serta berdiskusi.

Untuk membacanya silahkan klik disini

Aneka Masakan Lainnya

Lumpia Semarang

Pada masa tempo doeloe di kalangan masyarakat Semarang dapat kita jumpai cukup banyak masakan yang cukup menyegarkan seperti ‘jangan cemplung” itu dan salah sebuah di antaranya ialah “bloar mak”.

Tidak ubahnya dengan “Jangan Cemplung” masakan yang dinamakan “bloar mak” itu juga tidak begitu susah membuatnya. Bahannya juga tidak begitu banyak. Adapun bahan-bahan yang diperlukan ialah daging kambing yang ada tulang-tulangnya, brambang bawang, merica dan daun bawang seledri serta sejemput garam. Setelah,dibersihkan dan dipotong kecil-kecil daging kambing bertulang yang telah disediakan direbus hingga "empuk". Setelah itu diberi sedikit merica yang telah ditumbuk halus dan garam secukupnya,

Selaniutnya diberi daun bawang seledri yang telah dipotong kecil-kecil dan brambang rajangan yang sebelumnya telah digoreng hingga menguning. Mudah sekali bukan?

Selain "bloar mak", tempo doeloe masyarakat Semarang juga masih mengenal sebuah masakan "bloar" yang lain, yang untuk mudahnya sering dlnamakan "bloar pedes", oleh karena berbeda halnya dengan "bloar mak". "bloar" yang satu ini memang menggunakan lombok dan oleh karenanya pedas juga rasanva.

Kecuali sedlkit lombok merah satu atau dua buah. mana suka, bahan reramuan lain yang perlu disediakanda dalam membuat "bloar'' yang satu ini ialah ikan kambing yang ada tulang-tulangnya, merica, kecap, cukak, sere, jahe dan garam.

Mula-mula daging kambing bertulang dibersihkan dan dipotong kecil-kecil, kemudian direbus hingga empuk. Rebusan daging kambing bertulang itu lalu diberi kecap, merica yang telah ditumbuk halus, garam,sedikit sereh dan jahe,kecap,brambang dan bawang yang masing-masing telah dirajang dalam keadaan mentah,dan rajangan lombok merah. Setelah beberapa waktu lamanya kemudian diangkat dari perapian dan disajikan dalam sebuah pinggan.

Tidak lupa kiranya kalau kita bicara makanan khas Semarang, kita harus berbicara tentang Lumpia Semarang. Berbeda dengan Lumpia dari daerah lain, di Semarang berisi rebung atau bambu muda yang dipotang kecil-kecil dan dimasak dengan telur. Walaupun lumpia dapat kita temui dinegara mana saja, tetapi yang rasanya khas hanya disemarang yang disajikan dengan daun bawang.

Demikian sedikit mengenai beberapa masakan yang khas Semarang pada masa tempo doeloe.

Cara Membuatnya

Tahu Telor Semarangan

Berbicara mengenai tahu, pada jaman tempo daoeloe di kalangan masyarakat Semarang, dapat kita jumpai dua macam masakan yang benar-benar khas Semarang, yang bahan pokoknya terbuat dari tahu.

Yang pertama ialah tahu “ndog" atau tahu telur. sesuai dengan namanya, masakan itu memang dibuat, terutama dengan menggunakan bahan baku tahu dan telur, dan telur ini bukan teiur ayam tetapi telur itik. Disamping itu juga menggunakan sejumlah bahan yang lain; yang jumlahnya tidak terlalu banyak, lagi pula mudah didapat, yakni brambang dan bawang, udang,merica,daun bawang selederi dan garam.

Adapun cara membuatnya demikian: Mula-mula tahu yang telah disediakan diremat-remas dengan menggunakan tangan hingga halus. Selanjutnya dicampur dengan merica, udang, bawang dan garam yang masing-masing dalam kadar yang cukup sebelumnya telah dihalus kan menjadi satu. Sesudah selesai, acuan itu dicampur dengan brambang yang telah dirajang tipis-tipis dan daun bawang seledri yang telah dipotong kecil-kecil dan diaduk dengan cairan telur itik. Kemudian digoreng dalam bentuk bulatan-bulatan dengan garis tengah lebih kurang 6cm , dan setelah matang diangkat dan disajikan diatas piring dengan disertai sambal yang terbuat dari bawang putih, kacang goreng dan cabai rawit yang ditumbuk halus disertai dengan kecap dan sedikit cukak.

Disamping tahu ndog dalam bentuk tersebut di atas,kadang-kadang juga terjumpai tahu ndog yang dibuat dalam bentuk bulatan yang lebih besar, lebih kurang sebesar satu alas cangkir.dalam menyajikannya kadang2juga disertai dengan petis dan kol yang dirajang tipis-tipis.

Pada masa tempo doeloe hingga tahun-tahun sekitar 1950-an di kota Semarang pernah terdapat seorang penjual “tahu ndog”yang terkenal namanya Wak Kepis, berasal dari kampung Kebon Kenap dan membuka dasarannya pada sore hingga malam hari di jalan. Ambengan (sekarang jalan. Letjen MT Haryono), tidak begitu jauh dari kampungnya. Kecuali "tahu ndog", pada waktu itu Wak Kepis juga menjual nasi babad dan tahu goreng.

Selain tahu ndog, masakan khas Semarang yang lain yang bahan bakunya terbuat dari tahu ialah "jangan cemplung". Masakan ini merupakan suatu masakan yang cukup menyegarkan sangat nyaman, sedangkan cara membuatnya juga tidak begitu susah. Kecuali tahu, untuk membuat "jangan cemplung" tsb. diperlukan telur itik, brambang bawang, udang, garam, taoge, kol, merica dan daun bawang seledri.
 
Mula-mula tahu yang telah di sediakan diremas-remas hingga halus. selanjutnya dicampur dgn bawang putih, merica. udang dan garam, yg masing-masing dengan kadar yang cukup juga telah ditumbuk halus. Setelah itu. acuan tersebut diaduk dgn mengguna kan cairan telur itik, dari di goreng dalam bentuk bulatan-bulatan yang kecil, dengan jalan memasukkannya dalam minyak yang panas, dengan menggunakan sebuah sendok makan. Taoge yang telah disedia kan lalu direbus dalam sebuah panci dengan menggunakan air secukupnya, bersama-sama dengan kol dan daun bawang seledri yang telah dipotong kecil-kecil. Bersamaan dengan itu dicampurkan merica yang telah ditumbuk halus, garam secukupnya dan brambang rajangan yang sebelumnya telah digoreng.

Setelah mendidih, bulatan-bulatan tahu yang telah digoreng segera dimasukkan dan beberapa waktu kemudian diangkat dan disajikan dalam sebuah pinggan.

Seperti telah dikemukakan diatas “jangan cemplung” merupakan sebuah masakan yang cukup menyegarkan dan lezat rasanya, lebih-lebih jika dimakan hangat-hangat.

Gimbal Urang dan Tahu Telor

Gimbal Urang

Pada waktu itu di kota Semarang sebenarnya juga sudah terdapat para penjual tahu goreng dan gimbal urang (udang), yang menjualnya dengan menggunakan pikulan, tidak banyak ubahnya dgn penjual tahu goreng lain gimbal urang yang sekarang ini, pada malam hari masih banyak bersliweran, tetapi tidak menjual tahu pong, seperti yang dijual bah Urip.

Di samping itu, khusus mengenai gimbal urangnya. jika dlbandingkan dengan gimbal urang yang dijual mbah Urip dengan jujur juga harus diakui, bahwa para penjual tahu goreng dan gimbal urang itu "kalah" benar. Gimbal urang mbah Urip dibuat dengan menggunakan udang yang terpilih, yang besar, dan agak istimewa pula racikan bumbu-bumbunya.

Lain daripada itu, mbah Urip juga masih mempunyai sebuah keistimewaan, jika mengambil tahu-tahu yang telah digorengnya, yang di taruhnya dalam sebuah "serok", tidak menggunakan "susuk", akan tetapi justru menggunakan supit yang terbuat dari kayu. Hal ini sudah terang bukan tidak ada sebab musababnya, oleh karena dengan cara demikian, kata orang, ia merasa akan lebih mudah menghitung potongan-potongan tahu yang dijualnya.

Dengan teriakan "hu"-nya yang khas, mbah Urip mengawali penjualan tahu dan gimbal urangnya pada sore hari kira-kira jam empat dan setelah ke sana kemari lebih kurang tiga jam lamanya, biasanya masakan yang dijualnya telah ludes, tiada lagi bersisa.

Setelah mbah Urip muncul beberapa orang lain, yang mencoba mengadu nasib dengan berjualan tahu pong, di antaranya ada yang membuka kios bertenda di jalan. Peloran - sekarang jalan. Gajah Mada. Dan seperti halnya tahu pong mbah Urip, tahu pong yang dijual oleh kios yang terletak di jalan. Peloran itu juga sangat terkenal, hingga termasyhur dengan nama tahu pong Peloran.

Di jalan. Jagalan, di kompleks halaman bioskop yang terdapat di jalan itu, juga terdapat sebuah kios yang menjual tahu pong dan gimbal urang yang tidak kurang terkenalnya. Bahkan seperti halnya kios tahu pong di jalan. Peloran kios tahu pong di kompleks halaman bioskop Jagalan itu juga menyediakan telur goreng, sebagai pelengkap. tahu pong dan gimbal urang yang dijualnya.

Sekalipun namanya telur goreng, telur itu bukan telur itik yang di goreng dengan jalan didadar atau diceplok dibuat telur mata sapi, akan tetapi telur itik, yang sebelum digoreng telah direbus lebih dulu. Setelah telur dikuliti dan dibiarkan berada dalam minyak yang panas hingga kulitnya "kemripik", telur itu kemudian potong-potong dan disajikan dalam suatu piring bersama-sama dengan tahu pong dan gimbal urang yang keduanya juga telah dipotong kecil dengan diberi sambal, petis dan daun kol yang dipotong tipis-tipis.

Hingga akhir 1970an, kios tahu pong dan gimbal urang di kompleks halaman bioskop Jagalan itu masih ada dan menurut keterangan dari sejumlah orang penduduk "kuno" kota Semarang, merupakan kios tahu pong dan gimbal urang yang paling tua sendiri di kota Semarang, yang sedari tempo doeloe hingga sekarang terus menerus aktif, bergerak da lam bidang "profesi"nya.

Sunday, March 1, 2015

Tahu Pong

Tahu Pong Semarang

Di kalangan masyarakat Jawa terdapat sebuah pepatah yang berbunyi "Negara mawa tata desa mawa cara". Pepatah tersebut yang senilai artinya dengan pepatah Melayu “Lain lubuk lain ikannya lain padang lain pula belalangnya", mengandung arti maknawi bahwa tiap-tiap daerah tentu memiliki adat istiadat tersendiri yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan itu yang terkadang demikian menyolok di antaranya bisa kita jumpai dalam bidang masakan.

Tiap-tiap daerah tentu mempunyai berbagai macam masakan yang pedas, namun ada juga daerah yang penduduknya menyukai masakan yang manis-manis dan serba gurih rasanya. Di samping itu tiap daerah juga memiliki makanan yang istimewa, yang sangat terkenal hingga membuat masing-masing daerah yang bersangkutan sangat termasyur di mana-mana, dan pikiran orangpun sering melayang pada makanan-makanan itu jika me nyebut nama-nama daerah yang_ bersangkutan.

Kota Yogya misalnya sangat terkenal karena gudegnya,hingga kota itu sering disebut "kota gudeg". Dan tidak jauh dari Yogya, di dekat candi Prambanan, kita bisa menjumpai suatu daerah yang tidak begitu luas bernama Kalasan, yang kecuali candinya juga sangat terkenal karena ayam gorengnya. Sementara itu di sebelah timur Kalasan terletak Sala, yang kecuali terkenal karena "Wong Sala"-nya yang mempunyai ciri kepribadian yang khas itu, juga sangat terkenal karena "sego liwet"-nya.

Masih di daerah Jawa Tengah, kita masih bisa menyebut Kudus yang sangat terkenal karena "soto" dan "jenang"-nya, Salatiga yang sangat terkenal karena "enting-enting gepuk"-nya, Brebes yang sangat terkenal karena "telur asin"-nya, Magelang yang sangat terkenal karena "getuk Trio"nya

Di daerah Jawa Barat, semenjak tempo doeloe kota Jakarta sudah sangat terkenal karena "nasi uduk"-nya sedangkan kota Garut sangat terkenal karena dodolnya. Sementara itu Sumedang sangat terkenal karena "tahu"-nya.

Bagaimana halnya dengan Semarang? Tidak ubahnya dg Yogya, Kalasan, Sala, Kudus, Salatiga Brebes Magelang, Jakarta,Garut,Sumedang dan banyak kota-kota yang lain di pulau Jawa, kota Semarang juga mempunyai makanan yang khas dan spesifik Semarang, yakni “tahu pong”.dan demikian terkenalnya “tahu pong” Semarang ini sampai-sampai kota Semarang pernah dijuluki sebagai “kota tahu pong”, tidak ubahnya dengan Yogya yang mendapat julukan kehormatan sebagai “kota gudeg”.

Tahu pong Semarang memang lain daripada yang lain. Jika masih mentah, bentuknya nampak biasa saja, akan tetapi, jika telah dipotong-potong dan, digoreng potongan-potongan tahu pong yang kecil-kecil itu dengan tiba-tiba mengembang, dan setelah diramu dengan sambal vang dibuat dengan menggunakan reramuan bumbu-bumbu yang khas Semarang, akan merupakan suatu hidangan yang benar-benar bisa menggoyang lidah.

Orang yang berjasa besar dalam. mentenarkan tahu pong Semarang itu ternyata seorang babah Tionghoa, yang di kalangan "wong Semarang" pada masa tempo doeloe lebih terkenal dengan nama Jawanya "bah Urip".

Pada kira-kira tahun 1920-an, babah Tionghoa yang berasal dari kampung Kentangan itu telah menjual tahu pong, di samping tahu biasa yang lazim disebut "tahu mplek" dan "gimbal urang”. Sebagai seorang penjual tahu dan gimbal urang Kesana kemari menggunakan sebuah pikulan,yang dipikul oleh seorang pembantunya. Dalam menyajikan dagangannya, ia biasanya ber jalan dimuka, dan pada saat-saat tertentu berteriak "hu" singkatan dari perkataan "tahu"!

Jarak jangkauan pasarannya tidak begitu luas. Setelah beberapa waktu lama nya mangkal di "regol" kampung Bubudan, biasanya ia bergerak ke kampung Bang' Anom dan dari Bang Anom menuju ke arah utara, menyusuri jalan Ambe ngan terus ke Pandean dan kemudian pulang kembali ke pangkalannya di kampung Bubudan. Walaupun demikian, masakan yang dijualnya sangat laris.

Belajar Dari Oei Tjoe

Rumah Oei Tjoe

Dalam buku Present Day Impressions Of The Far East And Prominent & Progressive Chinese at Home and Abroad, yang diterbitkan oleh The Globe Encyclopedia Company pada tahun 1917, dan berisi rekaman keterangan-keterangan berharga mengenai sejarah, penduduk perdagangan, industri dan sumber kekayaan alam di Tiongkok, Hongkong, Indochina, Malaysia dan  Indonesia, Oei Tjoe pernah diberi julukan sebagai seorang yang benar-benar ajaib, oleh karena sekalipun ia tidak mengetahui bahasa-bahasa asing, namun ia telah dapat mengurusi perdagangan yang besar.
 
Oei Tjoe hanya dapat membaca dan menulis dalam bahasa dan aksara Tionghoa saja, dan tidak pernah mengenyam bangku sekolah .Walaupun demikian, karena ketekunan nya, kehematannya dan nasibnya yang baik, ia berhasil menjadi seorang pedagang yang kaya raya, di kota Semarang, yang mempunyai sebuah perusahaan besar yang kian lama kian berkembang, hingga pada tahun 1898 dapat membuka cabang di Pekalongan, dan, pada tahun 1904 di Singapura, sedangkan di Batavia tahun 1907. Disamping itu, ia juga memiliki cabang-cabang di Medan, Shanghai dan Amoy.

Oei Tjoe mempunyai sebuah kantor besar di Gang Tengah Semarang, yang mula-mula kecuali dipergunakan sebagai kantor bagi perusahaannya juga dipergunakan sebagai rumah pribadinya.

Pada tahun 1916, tepatnya pada bulan November, Oei Tjoe berhasil menyelesaikan pembangunan sebuah rumah besar di Peterongan yang dimaksudkan akan dipakai sebagai tempat tinggalnya. Setelah pembangunan itu selesai, iapun kemudian pindah ke tempat itu bersama-sama dengan semua anggauta keluarganya.

Istana itu dibangun dengan langgam arsitektur Eropa, dengan halaman yang sangat luas disertai dengan sebuah patung nyonya Belanda sedang mengacungkan tangannya. Di sebelah kirinya. dihiasi dengan gunung-gunungan yang terbuat dari batu, dan diantara gunung-gunungan itu nampak pula sebuah jembatan yang mengingatkan para pemandangan pada panorama alam dalam Iukisan klasik Tionghoa.

Semuanya, menyuguhkan suatu perpaduan yang sangat menarik dan anggun, Namun sayang, bahwa semua keindahan itu ternyata tidak berusia lama. Karena sekarang justru telah lenyap sekalipun gedungnya masih ada, dan sisa dari gunung-gunungah itupun masih ada pula.
 
Demikianlah sedikit riwayat dari seorang hartawan di kota Semarang pada masa tempo doeloe, yang bernama Oei Tjoe, yang mula-mula hanyalah seorang pedagang kopi yang miskin saja, namun berkat keuletannya, berkat kehematannya berkat kejujurannya dan berkat bintang nasibnya, pada akhirnya telah berhasil memuncak, hingga menjadi seorang pedagang besar yang kaya raya.

Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dan suri tauladan dari kunci suksesnva itu.

Pedagang Yang Maju

Peta Rumah Oei Tjoe

Kian lama usaha Oei Tjoe kian maju hingga pada th 1898 berkat kejujurannya ia berhasil mendapatkan kepercayaan dari beberapa buah perusahaan perkebunan kopi untuk membeli kopi langsung dari mereka, dan pada tahun 1904 berhasil pula mendapatkan kepercayaan dari beberapa orang agen untuk membeli gula langsung dari pabrik-pabrik gula.
 
Mula-mula ia tidak begitu banyak membeli gula dari agen-agen itu, tetapi mungkin sekali sudah menjadi suratan takdir, dalam bidang perdagangan gula ini usaha nya kian lama justru kian memuncak, hingga pada dasawarsa kedua dalam abad ke XX, ia sudah menjadi salah seorang tokoh besar dalam bisnis perdagangan gula di Hindia Belanda.

Hal yang terakhir itu, dengan jelas dapat dilihat dari omzet perdaganganya. Untuk tahun 1917 misalnya, sebelum tahun itu mulai, ia telah membeli sebanyak 5.000.000 pikul atau 300.000 ton gula. Oei Tjoe melempar gula yang telah dibelinya ke berbagai daerah di Nusantara, ke Malaysia, India, Saigon, Hongkong dan Shanghai, dan sebagian lagi dijualnya pada berbagai perusahaan perdagangan Eropa di Semarang, yang selanjutnya mengeksport gula itu ke benua Eropa.

Kecuali dari agen-agen pabrik gula, Oei Tjoe juga membeli gula yang diper dangkannya dari para pedagang Tionghoa, di samping juga menjual gula itu kepada mereka.

Sangatlah sukar untuk membuat perkiraan, betapa kiranya besar jumlah gula yg telah diperdagang kan oleh Oei Tjoe. Dasar yang paling baik untuk membuat perkiraan mengenai hal itu, kiranya ialah angka-angka yang dapat di kumpulkan dari para makelar yang berhubungan dengannya. Dari para makelar itu, pada tahun 1916 kita dapat mengumpulkan angka 25.000.000 pikul, dan ini berarti, bahwa pada tahun 1916, sebagian besar dari produksi gula di Jawa berada di tangan Oei Tjoe.

Sebelum pecahnyaa Perang Dunia I, modal dan kekayaan Oei Tjoe "hanya" berjumlah f.1.000.000 saja. Namun tiga tahun kemudian, berkat ketidakstabilan pasaran gula di pulau Jawa, sebagai akibat dari Perang Dunia I kekayaan itu dengan cepatnya telah dapat naik melonjak, hingga mencapai suatu jumlah yang tidak tanggung-tanggung sebesar f. 8.000.000

Dan tidak hanya itu saja di samping kekayaan sebesar itu, Oei Tjoe juga masih memiliki banyak kekayaan lagi di kota Semarang, Betawi, Singapura dan di berbagai tempat di Tiongkok.

Selain berdagang gula, Oei Tjoe juga bergerak dalam bidang perdagangan kopi, biji-bijian, di samping berdagang beras, yang dibelinya dari Siam, Saigon dan Rangoon.

Siapakah Oei Tjoe?

Gang Tengah Di Pecinan

Tidak begitu jauh dari pasar Peterongan, terdapat sebuah gedung besar, yang di tahun 1970an dipakai sebagai gedung sekolah STM Negerl II Semarang. Dari tampak bangunan, jelas benar bahwa gedung itu aselinya tentu bukan merupakan sebuah gedung sekolah melainkan hanya merupakan sebuah gedung besar milik seorang partikelir saja.

Di halaman gedung itu, hingga tahun1970an masih terdapat hiasan gunung-gunungan, terbuat dari batu, dengan hiasan semacam bangunan kecil yang mempunyai sebuah kubah bagaikan kubah sebuah gereja, dan seekor burung garuda sedang hinggap beraga sambil merentangkan sayapnya. Adanya hiasan gunung-gunungan ini bisa mendorong siapapun juga yang melihatnya, dengan cepat sampai pada kesimpulan, bahwa gedung yang sekarang dipakai oleh STM Negeri II di Semarang itu, aslinya memang bukan merupakan sebuah gedung sekolah, sebagaimana dipancarkan oleh raut wajahnya melainkan justru merupakan sebuah rumah milik seorang partikelir saja yang kaya raya.

Dari dokumentasi mengenai sejarah kota Semarang dapatlah kita ketahui, bahwa gedung  itu pada awal mulanya memang milik seorang hartawan di kota Semarang, yakni seorang miliuner Tionghoa dari Gang Tengah bernama Oei Tjoe, yang pada masa awal abad ke-XX merupakan seorang pedagang besar di kota Semarang.

Sebagai seorang pedagang Oei Tjoe mempunyai riwayat yang sedikit unik. Tidak seperti halnya Oei Tiong Ham yang memulai jenjang karier dengan bekerja pada ayahnya sendiri. yang pada waktu itu sudah menjadi seorang pedagang yang kaya raya di Semarang, Oei Tjoe justru memulai lembaran kariernya dengan menjadi seorang pedagang yang sangat miskin.

la dilahirkan di Tiongkok di distrik Lam Ann, tidak begitu jauh dari Amoy, pada tahun 1878 dan dalam usia 10 tahun kemudian pergi merantau ke pulau Jawa mengadu nasib dengan menjadi seorang pedagang kopi di Semarang. Tiap hari dengan membawa pikulan pergi mengunjungi kampong-kampung di kota Semarang untuk menjajakan dagangannya. Modalnya pada waktu itu hanya f 5, saja.
 
Karena kerajinan dan kehematannya, empat tahun kemudian, pedagang kopi cilik dari Tiongkok itu telah berhasil membuka sebuah warung kecil, yang menjual gula, kopi teh, beras, korek api, barang-barang spesifik Tiongkok dan sebagainya.

Akhir Sebuah Koran

Surat Kabar De Locomotief

Brooshooft meninggalkan jabatannya pada tahun 1903. dua tahun  setelah ia mener bitkan tulisannya yng sangat terkenal "De Ethische Koers in de Nederlandse Koloniale Politiek", suatu program pembaharuan ke tatanegaraan vang sangat layak dan luas yang nota bene juga merupakan karya nya yang terakhir.

Sekitar tahun 1910 Semarang telah menjadi salah satu pusat kegiatan kaum nasionalis di Indonesia. J.E Stokvis yang pada waktu itu menjadi pemimpin redaksi harian De Locomotief adalah seorang liberal yang menaruh banyak simpati terhadap gerakan-gerakan kaum nasionalis di Semarang. Setelah ia meninggalkan De Locomotief pada tahun 1917, ia memegang peranan yang penting dalam partai Sosialis - Demokrat di Negeri Belanda, sementara A.Lievegood yang menggantikannya juga telah meneruskan jejaknya, bertentangan  dengan kebanyakan  harian-harian yang terbit pada waktu itu, mendendangkan kepentingan-kepentingan penjajahan Belanda saja.

Tahun 1926 merupakan suatu tahun musibah bagi De Locomotief. Pada waktu itu sebagian dari wartawannya telah dipengaruhi oleh aliran komunis. Akibatnya, sedikit banyak terasa dalam lembaran yang digarapnya.Karena peristiwa ini De Locomotief kehilangan sangat banyak langganan dan para pemasang iklannya.

Lievegoed sendiri kemudian telah mengundurkan diri. Pengunduran itu telah menimbulkan effek yang cukup dalam bagi De Locomotief. Setelah pengunduran Lievegoed tersebut, De Locomotief mengambil sikap yang konservativ, suatu sikap yang terus dipertahankannya hingga pecahnya perang Dunia II.
 
Pada tgl 1 September 1947 De Locomotief berusaha untuk bangkit kembali. Namun ternyata ia tidak bisa berlahan lama. Tepat pada tanggal. 9 Maret 1956 ia telah minta diri pada para pembacanya untuk mengakhiri riwayatnya. Tiada kata-kata perpisahan telah disampaikan lewat penerbitannya yang terakhir itu. Hanya dua patah kata memberi tanda pada para pembacanya bahwa esok hari ia tidak akan hadir lagi di mejanya. Dan kata-kata itu terpancang di halaman pertama tidak lain ialah ' Laats te Editie" - "Penerbitan Yang Terakhir".

Dengan penerbitan itu berakhirlah sudah riwayat sebuah surat kabar  yang oleh salah seorang bekas redaksi nya pernah disebut sebagai "Een unicke bladzijde" - "Sebuah lembaran yg unik", sebuah surat kabar Belanda yang telah berhasil mencapai usia lebih dari 100 tahun, yang hanya dapat ditandingi oleh harian "Java Bode' dari Batavia.

Masa usia seratus tahun merupakan suatu masa usia yang sangat didambakan oleh sebuah surat kabar. Jubelium semacam itu tentunya akan dirayakan dengan penuh suka cita, setidaknya dengan menerbitkan sebuah penerbitan khusus.

Demikian juga halnya dengan De Locomotief. Untuk menyambut peristiwa yang sangat bersejarah itu, tepat pada tgl. 23 Mei 1951 ia telah muncul dengan sejumlah lembaran ekstra, diantaranya yang sangat istimewa berupa lembaran-lembaran mengenai sejarah kota Semarang, dengan menampilkan beberapa buah karangan dari beberapa orang penulis diantaranya dari van Berkum yang semasa hidupnya pernah menjadi  bibliothecaris di Semarang.

Bagi kepentingan ilmu sejarah, suatu surat kabar dengan usia lebih dari seabad dan terbit terus menerus, sudah terang mempunyai arti tersendiri, yang tiada ternilai.
 
Dengan usia yang demikian lama, kejadian-kejadian penting di suatu daerah, di mana surat kabar itu terbit, telah dapat direkam menurut tertib waktu, dengan tidak ada kekhawatiran mengenai salah tanggal dan masanya.

Demikianlah bagi sejarah kota Semarang  harian De Locomotief mempunyai nilai yang sangat istimewa. Kejadian-kejadian penting di kota Semarang, selama lebih dari seratus tahun semenjak harian itu terbit pada tahun 1851, dengan mudah akan dapat dijumpai dengan membalik-balik kembali lembaran-lembaran kuno dari harian De Locomotief.

Karena itu berbahagialah masyarakat Semarang karena pernah memiliki De Locomotief, Een unieke bladzijde.

Surat Kabar yang Terkenal

Kantor De Locomotief Tidak Jauh Dari Bangunan Berkubah

Dibawah pimpinan C.E van Kesteren De Locomotief telah berhasil meraih reputasi yang sangat bagus di kalangan masyarakat, disamping mempunyai langganan yang tersebar di berbagai penjuru tanah air. Di Eropa sendiri, pada waklu itu De Locomotief rupanya juga telah mempunyai banyak langganan, hingga sampai perlu untuk menempatkan dua orang agen besar, masing di Paris dan Amsterdam.

Namun itu semua belum merupakan puncak kemegahan dari De Locomotief. Menurut sebuah katalog mengenai harian tersebut yang pernah diterbitkan oleh Inter Documentation Company AG Switzerland pada beberapa tahun berselang, puncak kemegahan dari harian De Locomotief itu justru baru tercatat setelah suatu periode yang singkat di bawah pimpinan seorang novelist terkenal ternama P.A. Daum.

Dengan kritik-kritiknya yang tajam yang dialamatkannya pada Pemerintah Hindia Belanda, harian De Locomotief yang pada waktu itu dipimpin oleh J.A. Scheltema, pada masa itu (tepatnya pada tanun 1855) telah terlibat dalam suatu konflik yang sengit dengan Gubernur Jendral Hindia Belanda O van Rees. Konflik itu demikian memuncak, hingga Gubernur Jendral Hindia Belanda tersebut pada waktu itu telah memerintahkan untuk menutup semua kantor De Loccmotief. Namun, pada malam itu juga Scheltema dengan cepat ternyata telah berhasil memindahkan salah sebuah dari mesin cetaknya ke tempat yang lain, sementara esok harinya ia mengabar kan pada pihak penguasa bahwa sebuah harian yang baru akan terbit dengan na ma' De Nieuwe Locomotief.
 
Tindakan Scheltema sudah terang merupakan suatu tindakan yang sangat berani. Tetapi, sekalipun demikian, Scheltema sendiri tidak urung merasa takut juga dengan tindakan yang telah dilakukannya. Demikianlah. segera setelah ia mengumumkan maklumatnya, ia telah melarikan diri ke Singapura, dengan tujuuan untuk menghindarkan diri dari penangkapan aparat Pemerintah Hindia Belanda.

Jabatan Scheltema kemudian diduduki oleh P Brooshooft, seorang pemimpin redaksi yang suka humor dan riang gembira. Di bawah pimpinannya De Locomotief berhasil menjulang menjadi suatu harian yang sangat populer dan sangat disukai oleh khalayak ramai. Disamping itu, dibawah pimpinannya harian De Locomotief juga telah  berhasil menjadikan "politik ethis" yang sebelumnya telah digunakannya sebagai garis kebijaksanaan umum nya, menjadi dasar .asasinya demi kepentingan bangsa Indonesia.

Pada zamannya Brooshooft para pemerhati sering tercenung menyaksikan bagaimana orang-orang De Locomatif bekerja. Sebagaimana pernah ditulis sendiri oleh J E. Stokvis (salah seorang bekas pemimpin redaksi dari De Locomcotief) dalam sebuah memoirnya, pada zamannya Brooshoft dan pada beberapa masa sebelum dan sesudahnya kantor dari harian yang sangat terkenal itu, terletak di Hoogendarpstraat. di tengah-tengah kantor-kantor dagang, bank eksport-import dan kantor-kantor advokat, boleh dikatakan ibaratnya "berlomba dalam kemiskinan". Pemimpin redaksinya misalnya seperti halnya anggotanya - mengacu opini dunia hanya dalam sebuah kamar yang suram dengan lantai ubin merah yang klassikal sambil duduk di atas sebuah kursi yg sudah sangat kuno menghadapi sebuah meja yang sangat sederhana terbuat dari kayu.

Sebagai penerangan ada sebuah lampu gas menggantung dalam ruangan itu, berbentuk harpa, namun sudah luntur warnanya. Di dinding nampak menggantung sebuah peta besar Nusantara, untaian zamrud di khatulistiwa di mana kasih sayang dan perhatian dari para redaksi De Locomotif pada  penduduknya telah tercurah.

Untuk para tamu tersedia sebuah kursi, beberapa tempat duduk yang bisa berputar dan sebuah tempat duduk dengan sandaran yang agak curam. Seluruhnya, kata J.E. Stokvifs, tidak ubahnya dengan sebuah tempat kediaman bagi seorang yang seharusnya  dipenjara .

Sekalipun demikian orang orang De Locomotief tetap bekerja dgn penuh kegembiraan dan dengan segala ke sederhanaan itulah telah berhasil meluncur percikan-percikan perenungan yang sangat tajam dan untaian untaian pikiran yang Brilliant dari Brooshooft dan kcmudian juga dari Stokvifs dan Lievegoed tiga orang pemimpin redaksi yang berhaluan maju semuanya demi kemajuan bangsa Indonesia.

Awal Surat Kabar

Koran De Locomotief


Pada tahun 1615 Jan Pieterzoon Coen yang pada waktu itu menjadi Gubernur Jendral Kompeni Belanda di Betawi, telah memerintahkan untuk menerbitkan sebuah surat kabar dengan nama Memoria der Nouvelles, suatu surat kabar yang sangat unik, karena tidak dicetak melainkan hanya ditulis dengan tangan.

Sebagai suatu aspek obyektif dari kebudayaan suatu masyarakat, surat kabar semacam itu sebenarnya bukan merupakan suatu gejala yang mandiri, artinya hanya pernah terbit di Batavia dan pada zamannya Jan Pie terioon Coen saja. Berbagai bangsa di dunia sebenarnya juga pernah mengenal penerbitan semacam itu. Memorie der Nouvelles ternyata telah terbit lebih awal dari rekan rekannya di Negara-negara yang lain.

Di Negeri Belanda misalnya, peristiwa semacam itu baru terjadi di Amsterdam empat tahun kemudian setelah terbitnya Memorie der Nouvelles di Batavia. Demikian juga di Amerika, Australia, Jepang dan Rusia. Di Negara-negara itu penerbitan surat kabar dengan menggunakan tulisan tangan baru  muncul jauh di belakang hari setelah lahirnya Memorie der Nouvelles.

Tetapi, surat kabar ala memorie der Nouvelles itu tidak pernah dikenal dalam sejarah perkembangan pers di Jawa Tengah. Semarangche Advertentieblad, surat kabar yang pertama di Jawa Tengah yang terbit di kota Semarang pada tahun 1845, sedari nomor pertama dari penerbitannya telah terbit dalam bentuk cetakan, tidak ditulis dengan tangan.

Adapun penerbitnya ialah firma Olifant-Co, yang pada masanya merupakan suatu penerbit yang bergerak dalam, bidang penerbitan buku-buku sekolah dan buku-buku bacaan untuk kepentingan umum (Hoevell WR van Reis over Java, Madura en Bali in het midden van 1847 I. 1849).

Sayang, bagaimana nasib penerbitan itu selanjutnya hingga kini belum berhasil diketahui dengan pasti. Yang terang, enam tahun berikutnya setelah penerbitan surat kabar yang sangat beriwayat dalam sejarah kota Semarang itu, firma De Groot & Co di Semarang ternyata juga tidak mau ketinggalan untuk menerbitkan sebuah surat kabar mingguan dengan nama Samarangsch Nieuws en Advertentieblad.

Namun, nama surat kabar itu ternyata tidak lama di gunakan. Setelah dua belas tahun lamanya menghibur dan melayani para pembacanya, koran mingguan itu oleh penerbitnya telah diganti namanya menjadi De Locomotief. Penggantian nama itu sudah terang bukannya tidak ada sebabnya. Sesuai dengan nama baru yang digunakannya, penggantian nama itu memang ada hubungannya dengan soal "lokomotip', tepatnya terutama memang dipengaruhi oleh minat besar yang pada waktu itu sedang bersemarak dikalangan masyarakat terhadap rencana pembuatan jalan kereta api.
 
Sekalipun sangat sederhana, nama itu rupanya telah membawa banyak berkah, hingga tujuh tahun berikut nya - tepatnya pada tahun 1870 — Koran mingguan De Locomotief itu ternyata telah berhasil menjelma menjadi sebuah harian.

Pada tahun 1875 surat kabar tersebut jatuh ke tangan C.E van Kesteren, yang semenjak itu bernama De Locomotief, telah bertindak sebagai pemimpin umumnya.